Menjadi seorang pebisnis tidaklah mudah dan
banyak hal yang perlu dipikirkan untuk mengembangkan bisnis. Namun, salah satu
faktor yang dapat menghambat kegiatan bisnis atau bahkan menyebabkan kegagalan
suatu bisnis adalah tidak adanya perjanjian yang mengatur transaksi bisnis tersebut.
Misalnya dalam transaksi jual-beli dengan vendor, vendor tersebut terlambat
mengirimkan barang sehingga menyebabkan hambatan terhadap bisnis yang Anda
jalankan.
Lalu bagaimana dengan konsekuensi bagi vendor
tersebut? Hal tersebut dapat diminimalisir apabila Anda memiliki kontrak yang
secara jelas mengatur cara mengatasi risiko-risiko yang mungkin terjadi seperti
keterlambatan pengiriman barang. Untuk itu, pada artikel kali ini LIBERA akan
menjelaskan beberapa hal penting terkait hukum kontrak yang perlu Anda ketahui
agar transaksi bisnis Anda dapat berjalan lancar.
Pengertian Kontrak
Menurut terjemahan dari Black’s
Law Dictionary, definisi kontrak adalah suatu perjanjian antara dua
orang atau lebih yang menciptakan kewajiban untuk berbuat atau tidak berbuat
sesuatu hal yang khusus. Berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
(KUHPer), kontrak melahirkan suatu perikatan antara pihak yang mengikatkan
dirinya. Sehingga dari kontrak inilah lahir suatu perikatan di mana para pihak
yang mengikatkan diri memiliki kewajibannya masing-masing sesuai yang
ditentukan dalam kontrak.
Syarat Sahnya Kontrak
Banyak orang yang salah mengartikan bahwa
kontrak akan dinyatakan sah jika dibuat secara tertulis. Tidak sedikit pula
orang yang beranggapan bahwa suatu kontrak dianggap sah apabila ditandatangani
di atas meterai. Padahal, penentuan sah atau tidaknya kontrak bukan dilihat dari
meterai maupun bentuknya secara tertulis atau lisan, melainkan dilihat dari
terpenuhinya syarat sah perjanjian yang diatur dalam Pasal 1320
KUHPerdata. Di mana, menurut Pasal 1320 KUHPerdata, kontak akan
sah jika memenuhi beberapa syarat di bawah ini:
- Kecakapan
para pihak;
- Kesepakatan
antara para pihak;
- Adanya
suatu hal atau objek tertentu;
- Suatu
sebab yang halal (tidak bertentangan dengan hukum yang berlaku,
kesusilaan, dan ketertiban umum).
Asas-asas Hukum
Perikatan (Asas dalam Berkontrak)
Menurut teori dalam ilmu hukum perdata,
terdapat 8 (delapan) asas-asas hukum perikatan yang tercermin dari pasal-pasal
yang ada dalam KUHPerdata, antara lain:
1. Asas kebebasan
berkontrak (freedom of contract)
Dalam Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata menyatakan
bahwa
“Semua perjanjian yang dibuat secara sah
berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.”
Asas ini merupakan asas yang memberikan
kebebasan kepada para pihak untuk:
- membuat
atau tidak membuat perjanjian;
- mengadakan
perjanjian dengan siapa pun;
- menentukan
isi perjanjian, pelaksanaan, dan persyaratannya; dan
- menentukan
bentuk perjanjiannya apakah tertulis atau lisan.
Namun kebebasan yang dimaksud dalam
KUHPerdata juga tidak dapat diartikan bahwa kontrak dapat dengan bebas dibuat
tanpa memperhatikan ketentuan hukum yang berlaku. Kebebasan dalam berkontrak
juga tetap harus memenuhi syarat sahnya perjanjian agar dapat dilaksanakan.
2. Asas Konsensualisme
(concensualism)
Pasal 1320 ayat (1) KUHPerdata telah
menentukan bahwa salah satu syarat sahnya perjanjian adalah adanya kesepakatan
antara kedua belah pihak.
3. Asas Kekuatan
Mengikat (pacta sunt servanda)
Asas ini juga merujuk pada Pasal 1338
ayat (1) KUHPerdata, di mana para pihak akan terikat dengan perjanjian yang
telah dibuatnya layaknya undang-undang.
4. Asas Itikad Baik
(good faith)
Asas ini telah tercantum dalam Pasal
1338 ayat (3) KUHPerdata yang berbunyi:
“Perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad
baik.”
Sehingga dapat disimpulkan bahwa, para pihak
dalam membuat kontrak maupun saat melaksanakan isi kontrak tersebut harus
dilakukan dengan itikad dan niat baik.
5. Asas Keseimbangan
Asas ini menerapkan adanya suatu posisi tawar
yang sama atau seimbang ketika membuat perjanjian di antara para pihak.
6. Asas Kepatutan
Asas ini tercermin dari Pasal 1339
KUHPerdata yakni:
“Suatu perjanjian tidak hanya mengikat untuk
hal-hal yang secara tegas dinyatakan di dalamnya, tetapi juga untuk segala
sesuatu yang menurut sifat perjanjian, diharuskan oleh (1) kepatutan, (2)
kebiasaan, (3) undang-undang.”
Artinya, kontrak tersebut juga harus
memperhatikan kepatutan dan keadilan bagi para pihak.
7. Asas Kepastian Hukum
Asas ini merupakan cerminan dari Pasal
1338 ayat (2) KUHPer yang menyatakan bahwa pihak dalam perjanjian
dilarang untuk membatalkan perjanjian secara sepihak.
8. Asas Kepribadian
(personality)
Asas ini menentukan bahwa seseorang yang akan
melakukan dan/atau membuat kontrak hanya untuk kepentingan perseorangan saja.
Hal ini tertulis dalam Pasal 1315 KUHPerdata dan Pasal 1340 KUHPerdata yang
menegaskan bahwa
“Pada umumnya seseorang tidak dapat
mengadakan perikatan atau perjanjian selain untuk dirinya sendiri.”
Inti ketentuan ini sudah jelas bahwa untuk
mengadakan suatu perjanjian, orang tersebut harus untuk kepentingan dirinya
sendiri.
Wanprestasi
Mungkin Anda sering mendengar istilah
wanprestasi, namun belum mengetahui secara jelas apa yang dimaksud dengan wanprestasi.
Istilah wanprestasi sering disebut juga dengan breach of contract atau cidera
janji. Berdasarkan KUHPerdata, ada empat bentuk wanprestasi, yakni:
- Tidak
melaksanakan perjanjian atau tidak melakukan apa yang disanggupi akan
dilakukannya;
- Tidak
sempurna dalam melaksanakan kewajibannya, artinya pihak tersebut
melaksanakan kewajiban namun tidak sebagaimana dijanjikan;
- Terlambat
dalam melaksanakan kewajibannya; dan
- Melakukan
hal yang dilarang dalam perjanjian.
Lalu bagaimana solusinya jika salah satu pihak melakukan wanprestasi? Pihak yang haknya telah dilanggar dapat memberikan peringatan kepada pihak yang melakukan wanprestasi, di mana peringatan ini disebut dengan istilah somasi yang akan dijelaskan di bawah ini.
Somasi
Setelah Anda memahami mengenai kontrak,
syarat sahnya kontrak, dan asas dalam berkontrak. Kini saatnya Anda memahami
bagaimana jika salah satu pihak tidak menepati kesepakatan yang ada dalam
kontrak? Sebelum Anda membawa masalah tersebut ke pengadilan, Anda bisa
menyelesaikannya dengan memberikan somasi.
Dalam hukum perdata, somasi tercermin dari
ketentuan pada Pasal 1238 KUHPerdata dan Pasal 1243 KUHPerdata. Di
mana dalam Pasal 1238 KUHPer disebutkan bahwa:
“Si berutang adalah lalai, apabila ia dengan
surat perintah atau dengan sebuah akta sejenis itu telah dinyatakan lalai, atau
demi perikatannya sendiri, ialah jika ini menetapkan, bahwa si berutang harus
dianggap lalai dengan lewatnya waktu yg ditentukan.”
Lebih lanjut, pada Pasal 1243
KUHPerdata diatur bahwa tuntutan atas wanprestasi suatu perjanjian
dapat dilakukan apabila yang melakukan wanprestasi telah diberikan peringatan
bahwa ia telah melalaikan atau tidak melaksanakan kewajibannya, namun tetap
melalaikan kewajibannya. Peringatan inilah yang lebih dikenal dengan istilah
somasi. Perihal berapa jumlah somasi yang seharusnya diberikan juga tidak
diatur secara tegas, sehingga hal ini tergantung dari pihak yang memberikan
somasi.
Bentuk dan Isi Somasi
Bentuk somasi yang disampaikan kepada pihak
yang melakukan wanprestasi tidak diatur secara jelas. Namun, pada umumnya isi
dari somasi antara lain mencakup:
- Hal
yang diminta (kewajiban pihak yang melakukan wanprestasi);
- Dasar
hukum permintaan (perjanjian pokok yang mengatur kewajiban para pihak);
dan
- Jangka
waktu bagi pihak yang melakukan wanprestasi untuk melaksanakan
kewajibannya.
Ganti Rugi
Untuk melindungi para pihak dalam perjanjian,
ketika salah satu pihak telah melakukan wanprestasi, pihak yang melakukan
wanprestasi dapat dimintakan untuk memberikan ganti kerugian terhadap pihak
lainnya sebagai akibat dari wanprestasi yang dilakukannya. Dalam hukum kontrak,
ada dua kejadian yang menimbulkan ganti rugi yaitu ganti rugi karena
wanprestasi dan ganti rugi akibat melawan hukum. Ganti rugi wanprestasi
merupakan bentuk ganti rugi yang dibebankan kepada debitur yang tidak memenuhi
isi perjanjian yang telah dibuat. Sedangkan ganti rugi akibat melawan hukum
adalah suatu bentuk ganti rugi yang dibebankan kepada orang yang melakukan
perbuatan yang bertentangan dengan hak orang lain. Lain halnya dengan
wanprestasi, seseorang dapat mengajukan klaim ganti rugi apabila haknya telah
dilanggar meskipun sebelumnya tidak ada perjanjian diantara keduanya.
Namun dalam artikel ini, yang akan dibahas
lebih lanjut adalah ganti rugi yang diakibatkan oleh wanprestasi, dikarenakan
adanya wanprestasi terhadap isi perjanjian yang telah disepakati para
pihak. Pasal 1243-1252 KUHPerdata telah menyebutkan bahwa
prinsip dasar ganti rugi wanprestasi adalah pihak yang lalai wajib mengganti
kerugian yang meliputi ongkos, kerugian dan bunga. Dijelaskan lebih lanjut
pada Pasal 1246 KUHPerdata, ganti kerugian itu terdiri atas 3
unsur, yaitu:
- Biaya,
yaitu segala pengeluaran atau ongkos-ongkos yang nyata-nyata telah
dikeluarkan.
- Rugi,
yaitu kerugian karena kerusakan barang-barang kepunyaan kreditur yang
diakibatkan oleh kelalaian debitur.
- Bunga,
yaitu keuntungan yang seharusnya diperoleh atau diharapkan oleh kreditur
apabila debitur tidak lalai.
Maka dari itu, jika pihak counterpart
melakukan wanprestasi, Anda sebagai pihak yang dirugikan dapat mengajukan klaim
ganti rugi kepada counterpart Anda. Hal ini juga dapat dituliskan di dalam
kontrak, misalnya dalam perjanjian jual beli, ketika pihak pembeli tidak
melakukan pembayaran sesuai dengan jadwal yang ditentukan, pembeli dapat
dikenakan denda.